Rabu, 20 Februari 2008

MENDONGKRAK


Kendati sudah banyak terapi yang dilakukan untuk mengatasinya, impotensi masih menjadi momok bagi kaum pria. Namun, terapi-terapi baru seperti dengan menggunakan obat suntik atau oral, kekhawatiran itu mudah-mudahan semakin terkikis.


>Keharmonisan rumah tangga ditentukan salah satunya oleh kualitas hubungan intim pasangan suami-istri. Seorang suami yang tidak sanggup memenuhi kewajibannya kepada istri, sering kali memiliki perasaan bersalah. Sementara itu seorang istri yang setiap malam hanya bergumul dengan “kedinginan” tak jarang mempunyai prasangka yang bukan-bukan terhadap suaminya. Bila keadaan ini berlanjut, pengaruh lebih luas tak mustahil terjadi. Umpamanya, timbulnya depresi atau penurunan produktivitas kerja bagi penderita atau bahkan perselingkuhan sang istri.
Obat suntik si

Obat suntik dan autoinjector-nya.
(Foto: Gde)

Salah satu bentuk ketidakmampuan pria dalam hal ini adalah impotensi, yaitu ketidakmampuan untuk mencapai dan mempertahankan ereksi sehingga memungkinkan untuk melakukan hubungan seksual.

Namun, penderita impotensi kini sebenarnya tak perlu terlalu cemas. Harapan untuk bisa pulih masih terbuka, dengan penanganan yang semakin praktis dan harapan yang lebih baik. Berbagai obat, dan juga alat bantu, yang bisa menolong si “buyung” bertugas dengan baik, semakin banyak ditawarkan.

Obat oral pun “lahir”

Munculnya obat oral ini tak lepas dari hasil penelitian terbaru tentang pengobatan impotensi. Hasil penelitian itu menunjukkan, sebagian besar impotensi terjadi lantaran faktor organik (impotensia organogenik). Padahal beberapa dekade lalu orang percaya, impotensi sebagian besar, sekitar 70%, karena faktor psikis (impotensia psikogenik). Perbedaan hasil penelitian yang sangat mendasar itu mengakibatkan terjadinya pergeseran dominasi peran dari psikiater atau konsultan seks ke dokter yang mengkhususkan diri pada masalah-masalah seks, khususnya impotensi.

Dampak lanjutannya, penelitian untuk menemukan cara penanganan yang efektif terus dilakukan. Sampai saat ini hasil yang sudah bisa dirasakan para penderita impotensi adalah obat suntik, protesa penis, dan alat bantu ereksi (vakum). Namun, upaya untuk menemukan cara pengobatan yang lebih efisien dan praktis tak terhenti sampai di situ.

Saat ini, misalnya, obat oral berupa phosfodiastase inhibitor sedang dalam tahap uji klinik secara simultan di beberapa negara, termasuk Indonesia, dengan melibatkan ribuan pasien. Di Indonesia sendiri pengujian dilakukan oleh dr. Akmal Taher dari Klinik Impotensia RSCM dan melibatkan 30 orang pasien.

Pengujian obat temuan perusahaan farmasi Pfizer ini telah dilakukan sejak tahun lalu. Diperkirakan pengujian selesai Maret 1998. Meski uji klinik masih berlangsung, hasil penelitian pendahuluan yang melibatkan lebih dari 4.000 orang di Eropa dan Amerika menujukkan hasil cukup memuaskan. Diketahui, tingkat keberhasilannya mencapai sekitar 70% tanpa memandang penyebabnya.

Obat ini, menurut dr. Akmal, sebenarnya termasuk obat bantuan. “Sampai sekarang kami belum tahu apakah setelah pemakaian sekian lama pasien bisa sembuh 100%. Yang kami ketahui, kalau diminum satu jam sebelum berhubungan seksual, obat tersebut bisa membantu terjadinya ereksi,” tegasnya.

Obat tunggal ini bekerja dengan merelaksasikan otot polos penis, sehingga darah akan banyak mengalir ke alat vital itu dan menimbulkan ereksi. Karena kerjanya langsung pada penis, efek sampingannya minimal. “Sampai saat ini efek sampingan yang diketahui hanya berupa kemerahan pada wajah atau sakit kepala. Tapi sedikit sekali angka kejadiannya. Saya kira sekitar 10%. Itu pun, dengan mengurangi dosis, efek sampingan akan hilang.” tambahnya.

Memperlancar aliran darah

Pengobatan impotensi lain, yang kini lagi naik daun di Indonesia, adalah dengan obat suntik. Jenis obat itu kini digunakan oleh beberapa klinik khusus impotensi, seperti On Clinic (OC), Klinik Harmoni Keluarga (KHK), dan Klinik Impotensia RSCM. Dengan obat ini baik impotensi psikogenik maupun organogenik bisa ditangani.

Alat bantu ereksi.

Salah satu contoh alat bantu ereksi.
(Foto: Gde)

Pengobatan psikogenik umumnya memang dengan konsultasi. “Namun, angka keberhasilannya tidak terlalu baik, karena penderita umumnya kalangan menengah ke atas dengan tingkat intelektual tinggi dan memiliki ego tinggi pula, sehingga sugesti apa pun yang diberikan sulit berhasil,” jelas dr. J.B. Hawoe, konsultan seks KHK yang berdiri November 1996 atas rintisan dr. Moeslan S., Direktur RS Kartika, Pulomas. Dengan obat suntik, pasien akan melihat langsung hasilnya, sehingga ia akan mengobati aspek psikisnya sendiri. Rasa percaya dirinya akan timbul.

Obat-obat tersebut tentu berbeda untuk tiap klinik. Masing-masing merupakan hasil racikan dan penelitian yang berbeda. Hanya saja ada yang mengandung bahan sama seperti prostaglandin E1.

Obat yang digunakan OC umpamanya, menurut dr. M. Nasser, konsultan OC, merupakan kombinasi 4 bahan, yakni papaverin, pentholamin, prostaglandin E1, dan atropin sulfat. Keempatnya merupakan senyawa vasoaktif, yakni senyawa yang meningkatkan aliran darah. Bahan-bahan tersebut diramu dengan komposisi tertentu, yang merupakan hasil penelitian Prof. Jack Vaisman, pendiri On Clinic International, selama 5 tahun di berbagai negara.

Sementara kombinasi papaverin-pentholamin atau prostaglandin E1 digunakan di Klinik Impotensia RSCM. Obat suntik ini dipasok dari salah satu negara di Eropa.

Sayang, bahan obat suntik yang digunakan di KHK tidak diungkapkan secara eksplisit. “Bahannya sebenarnya obat-obatan yang sudah ada di Indonesia. Hanya saja perlu campuran khusus dan harus dilakukan oleh ahli impotensi dari Australia,” timpal dr. J.B. Hawoe. Yang pasti, obat yang merupakan hasil racikan dr. John Pyne dari Australia setelah ditemukan oleh Prof Jack Vaisman, dikembangkan dan digunakan di berbagai negara tersebut, dibedakan atas 3 jenis, yakni basic, additive 1, dan additive 2. Ketiganya berbeda dalam formulasi bahannya. Obat basic yang ditujukan bagi mereka yang masih aktif melakukan hubungan seksual berisi 2 bahan obat. Adittive 1 mengandung 3 bahan dan diperuntukkan bagi pasien yang memiliki masalah pada organ tubuhnya meski tidak parah. Sementara di dalam adittive 2 terdapat 4 bahan dan memerlukan pendinginan selama penyimpanan. Jenis terakhir ini untuk mereka yang penyakitnya sudah parah.

Meski obat itu berasal hasil racikan ahli yang berbeda, semuanya memiliki prinsip kerja yang sama, yakni memperlancar dan memperbanyak aliran darah menuju penis. Caranya dengan melenturkan otot polos dan memperbaiki kerja pembuluh darah arteri dan vena sehingga darah mengalir dengan lancar dan banyak. Dalam mekanisme ereksi kelancaran dan banyaknya aliran darah ini memang diperlukan. Sebab, si “buyung” baru bisa berereksi bila ada darah mengisi kantung yang disebut Carpus cavernossum dalam jumlah cukup. Di samping itu, ereksi bisa bertahan dalam waktu yang cukup berkat kerja katup-katup dalam pembuluh vena penis.

Baik dr. Nasser dan dr. Hawoe menyatakan obat-obat tersebut bukanlah obat perangsang. Kalau obat perangsang dosis penggunaannya semakin meningkat. Sebaliknya obat suntik untuk impotensi ini dosisnya semakin berkurang hingga suatu saat pasien sama sekali tidak memerlukannya lagi.

Cara penggunaan obat itu adalah dengan penyuntikan pada bagian batang penis tertentu. Penyuntikan ini bisa dilakukan sendiri oleh penderita. Jarum suntiknya cukup kecil, sama dengan jarum suntik insulin, dengan kapasitas maksimum 50 unit. Bila dirasakan sulit dalam penyuntikan, pasien bisa menggunakan alat bantu penyuntikan yang disebut autoinjecktor. Dengan alat ini konon saat jarum suntik tertancap, tidak dirasakan sakit oleh pasien karena jarum menjadi begitu cepatnya tertancap.

Semua jenis obat tadi disuntikkan dengan frekuensi 2 kali seminggu. Dosis obat untuk sekali suntik berbeda-beda untuk setiap penderita. Masa pengobatan juga beragam tergantung pada kasus yang dihadapi pasien. Kisarannya antara 1 - 3,5 bulan. Masa pengobatan ini ditentukan oleh dokter berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan. “Prinsip pengobatan ini harus teratur dan kontinyu,” jelas dr. Hawoe.

Meski begitu diakui, ada pula pasien yang tidak bisa lepas dari penggunaan obat suntik ini bila menginginkan ereksi. Mereka ini umumnya pengidap penyakit degeneratif terminal atau tak terkontrol, macam diabetes mellitus dan hiperkolesterol.

Pengobatan dengan obat suntik tidak terlalu menuntut syarat tertentu pada si penderita. “Yang penting pasien dalam keadaan sehat. Bagi kami, yang terpenting adalah secara etis ia memang sudah berkeluarga, ada gangguan dalam hubungan suami istri,” tegas dr. Nasser yang masih aktif di RS Marinir Cilandak.

Namun, dr. Akmal menambahkan, pasien kelainan pembuluh darah atau jantung yang berat tidak akan diberi terapi suntik ini. Juga, kepada pasien yang tidak bisa dijamin disiplin terhadap dosis yang diberikan atau secara psikis memiliki mental yang kurang stabil. “Yang dikhawatirkan, dia menaikkan dosis semaunya,” ujarnya.

Prof. Jack Vaisman dan dr. Hawoe sama-sama menyatakan, obat suntik mereka hampir tidak menimbulkan efek sampingan. Obat bekerja hanya di bagian penis. “Obat kami juga tidak mengurangi kepekaan rasa sama sekali,” tambah dr. Hawoe. Namun, dr. Akmal menambahkan, obat suntik yang berupa prostaglandin pasti menimbulkan efek sampingan berupa nyeri di penis setelah disuntik. Persentasenya sekitar 16%.

Dengan alasan nyeri ini, sampai 50% pasien yang merasakan nyeri tadi menyatakan berhenti menggunakannya. Efek sampingan lainnya adalah ereksi terlalu lama. Persentasenya tak lebih dari 1%. Dengan obat ini, ereksi yang diharapkan berkisar 1 - 2 jam. “Kami tidak mau pasien ereksi lebih dari 3 jam, karena itu mulai berbahaya, yaitu munculnya komplikasi berupa kerusakan jaringan otot polos penis,” jelasnya. Efek sampingan lain dari cara pengobatan dengan suntik ini adalah dalam jangka panjang akan timbul pengerasan di bekas suntikan.

Ada yang gagal

Tingkat keberhasilan penggunaan obat-obat ini juga bervariasi tergantung banyak faktor. Dr. Nasser menyebutkan, obat yang digunakan OC memang tidak memberi tingkat keberhasilan 100%. “Kami masih menemukan tingkat kegagalan sekitar 12%,” akunya.

Tercatat 35% dari jumlah pasien yang ditangani menunjukkan hasil baik sebelum serial pengobatan yang diberikan berakhir, karena umumnya penderita impotensi psikogenik, dan 12% tidak sembuh terutama karena usia lanjut (>60 tahun), diabetes tak terkontrol, kolesterol tinggi, perokok berat, pengguna alkohol atau obat-obat antihipertensi, kurang olah raga, atau gabungan dari faktor-faktor tadi. Selebihnya menunjukkan hasil baik namun diperkirakan suatu saat, beberapa bulan atau tahun kemudian, membutuhkan pertolongan kembali, lantaran memiliki kualitas pembuluh darah yang tidak terlalu bagus.

Menurut dr. Hawoe, angka keberhasilan penggunaan obat suntik yang digunakannya untuk mengatasi impotensi mencapai 90 - 95%. Selain itu, sekitar 30% pasien yang menggunakan obat suntik dari kliniknya sembuh dalam waktu 3 - 6 bulan, 30% dalam jangka waktu 2 - 5 tahun, dan 40%-nya akan memakai obat ini seterusnya karena mereka mengidap penyakit yang tidak bisa sembuh.

Dr. Akmal menambahkan, untuk menilai keberhasilan suatu pengobatan mesti jelas maksud keberhasilan itu. Membuat pasien ereksi tapi harus dengan bantuan obat itu terus atau pasien bebas dari obat itu sama sekali. Selain itu, mesti jelas pula golongan si pasien, baik berdasarkan usia maupun penyebabnya.

“Memang ada 6 - 10% dari pasien yang setelah 3 - 6 bulan sudah tidak memerlukan suntikan sama sekali. Tapi kebanyakan mereka adalah pasien impotensi akibat faktor psikis,” ungkapnya. Juga mesti jelas efek sampingannya. “Kalau dibilang tingkat keberhasilannya 100%, tetapi efek sampingannya sampai 30%, obat itu tidak boleh dipakai. Efek sampingan ini mesti disebutkan,” tegasnya lagi.

Parameter berikutnya, drop out rate-nya (persentase pasien yang berhenti memakai obat itu setelah jangka waktu tertentu). “Meskipun saya juga pakai cara suntikan, saya mesti bilang bahwa dari pengalaman di luar negeri dan di sini, dalam jangka waktu satu tahun lebih dari 60% pasien berhenti menggunakan cara ini dengan berbagai alasan. Baik dengan alasan sudah tidak memerlukan lagi, tidak comfort, atau tidak praktis,” jelas dr. Akmal. Parameter lain, kepuasan subjektif si pasien dan pasangannya. Tingkat kepuasan itu mesti diukur persentasenya.

Jangan malu-malu

Selain obat oral dan suntikan, ada pula alat bantu yang bisa digunakan penderita impotensi mencapai ereksi. Di antaranya vakum dengan beragam bentuk dan teknologinya, cincin karet, dan protesa. Hanya protesa yang pemasangannya memerlukan bantuan dokter ahli, karena harus memalui operasi. Sementara yang lain bisa dibeli bebas, baik langsung maupun melalui jaringan internet, atau atas rekomendasi dokter.

Dr. Nasser dan dr. Hawoe sama-sama menyatakan, penggunaan vakum kurang memberikan hasil memuaskan. Penggunaannya juga sedikit repot dan kadang-kadang menimbulkan rasa sakit. Namun keunggulannya, pengguna tak perlu menyuntik atau membeli obat meski untuk awalnya memerlukan latihan. Di Eropa alat bantu jenis ini, menurut dr. Akmal, tidak terlalu populer. Sebaliknya, di AS justru cukup populer dengan kepuasan lebih dari 90%.

Namun, sebelum sampai pada keputusan penggunaan obat atau alat bantu, idealnya pasien dan dokter mengetahui terlebih dahulu penyebabnya. Menurut dr. Akmal, konsep penyembuhan impotensi pada dasarnya sama dengan penyakit lain, yakni dengan mengetahui dan menyingkirkan penyebabnya. “Di Klinik Impotensia RSCM, kami berusaha sebisa mungkin menemukan penyebabnya. Kemudian kami tawarkan pengobatan yang sekausal mungkin menurut penyebabnya. Kalau kami tahu tidak bisa (diobati), kami jelaskan pula pada pasien,” ungkapnya.

Dengan konsep itu ada kemungkinan pasien bisa ereksi kembali secara alamiah. Kalau penyebabnya benar-benar psikogenik, dan berhasil dideteksi, kemudian diberi terapi suportif, pasien akan bisa kembali normal. Kalau penyebabnya pembuluh darah robek, dan bisa dibuktikan bahwa itu penyebabnya, kemudian pembuluh darah tersebut diperbaiki, pasien juga bisa kembali normal. “Tapi, diakui tidak semuanya bisa seperti itu. Kalau penyebabnya penyempitan pembuluh darah yang analog dengan penderita penyakit jantung atau stroke, biasanya pengobatannya jarang berhasil ditanggulangi. Artinya, bukan tidak bisa ereksi lagi, tapi selalu perlu bantuan, baik berupa obat, suntikan, vakum, atau prostesa,” ungkapnya.

Yang khas dari pusat-pusat pengobatan impotensia terletak pada upaya untuk merahasiakan identitas pasien dengan cara masing-masing. Penderita impotensi tak perlu malu-malu mendatangi klinik impotensia karena di klinik tidak bakal bertemu dengan pasien lain. Juga tak perlu takut ketahuan, karena klinik tak akan menginformasikan identitas pasien, bahkan terhadap orang-orang yang mengaku sebagai istri atau kerabat pasien.

Perlu diingat pula, “Klinik mana pun yang didatangi, pasien mesti menanyakan apa saja pilihan (terapi) untuk dia. Bahwa, klinik itu mengkhususkan pengobatan pada satu cara, dokternya boleh menyampaikan keuntungan cara itu, tapi dia mesti memberi informasi ke pasien bahwa ada kemungkinan lain yang bisa didapat pasien,” jelas dr. Akmal. Kalau pun dokter tidak melakukannya, pasien berhak menanyakan pilihan itu.

Kalau penyembuhan impotensi telah dijalani pasien dan berhasil, sebenarnya tidak cuma memberi kesenangan pada pasangan, tetapi juga pemulihan kekuatan seks (power of sex). Penelitian membuktikan, selama hubungan seksual berlangsung, terutama setelah orgasme, 7 senyawa kimia dihasilkan tubuh yang mampu menyembuhkan banyak penyakit seperti sakit kepala, nyeri pinggang, menormalkan siklus menstruasi, dan menormalkan keseimbangan hormon dalam tubuh. Beberapa penyakit yang tidak bisa disembuhkan dengan obat pun bisa disembuhkan lewat hubungan seksual. (I Gede Agung Yudana)

Tidak ada komentar: